A MOM
Perempuan ini seorang ibu yang bekerja. Dalam bekerja disa sangat serius dan teliti. Dia sangat bertanggungjawab terhadap tugasnya dan berusaha gembira disela-sela bekerja. Sebagai ibu, dia selalu berusaha menyediakan waktu untuk anaknya dan sering bercerita tentang keluarganya. Tapi, ada sebuah rahasia tak terungkap dari sepasang matanya, sekaligus menunjukkan bahwa dia memang kuat, umpaman seorang pelaut dalam menaklukan samudera. Semoga beliau senantiasa sehat, gembira dan berani selalu.
A Woman Who Empower Women
Aku
mengenal perempuan ini tahun 2010 silam, saat kami menjadi penerima
sebuah beasiswa. Beliau adalah seorang aktivis perempuan dan advokat
yang banyak mendampingi perempuan-perempuan korban kekerasan dalam rumah
tangga di Sulawesi Tengah. Tahun 2005 silam beliau menjadi salah satu
aktivis perempuan Indonesia yang dinominasikan mendapat 1000 Women for
the Nobel Peace Prize sebagai "Indonesian Indigenous Rights Advocate"
oleh the Emily Fund for Better World,
sebuah yayasan internasional yang didirikan untuk mengenang perjuangan
seorang mahasiswi bernama Emily Rachel Silverstein yang dibunuh pada
tahun 2009 karena ia kerap melakukan gerakan anti kekerasan dan anti
perang, dan memotivasi banyak orang untuk mewujudkan perdamaian.
Dewi Rana Amir pernah menjadi ketua Yayasan Bantuan Hukum (YBH) Bentala, Palu; menerima beasiswa Intrnational Fellowship Program (IFP) dari the Ford Foundation dan mendapat gelar Magister setelah menyelesaikan studi Kajian Gender di Universitas Indonesia dengan tesis berjudul "Tina Ngata: tatanan nilai-nilai dan implikasinya pada perempuan dan laki-laki (sebuah telaah kritis atas tatanan nilai pada kesatuan masyarakat hukum adat Kulawi di Kabupaten Sigi Provinsi Sulawesi Tengah"; hingga menjadi pembicara di tingkat lokal hingga internasional. Saat ini Dewi menjabat sebagai direktur Lingkar Belajar Untuk (LIBU) Perempuan, Palu, Sulawesi Tengah dan masih aktif sebagai advokat.
ERUPSI
Lukisan ini terisnpirasi dari gambaran novel 5cm tentang Kalimati, hutan-hutan di Jawa dalam serial Wiro Sableng yang saya gemari ketika SMU, dan peristiwa erupsi dahsyat Gunung Merapi di Yogyakarta beberapa tahun silam. Bagiku, gunung berapi adalah dapur magis yang bekerja sebagai penyeimbang bumi, dimana kita hidup dipermukaannya dengan gembira.
A Female Tree and Blue Door
Bisakah kamu melihat bahwa dia indah, sebatang pohon yang indah?
Adakah kamu menyadari bahwa dia cantik, sebatang pohon yang cantik?
Adakah kamu memahami makna liukan tubuhnya?
Apakah kamu bertanya mengapa ada sebuah pintu ajaib berbingkai biru?
Tidakkah itu keajaibanmu sendiri?
Siapakah pohon itu?
Bertanyalah pada perempuan-perempuanmu di rumah.
The Hottest Day
Hot. Bermankna panas, kejam, krisis, mati suri, dan penderitaan. Lukisan ini terinspirasi dari banyak peristiwa kebakaran hutan yang sering menajdi isu panas dalam berbagai tulisan dan forum mengenai pemanasan global. Dan dalam proses menerjemahkan gambar di alam pikiran kedalam kertas mengalami reduksi yang cukup besar. Tetapi setidaknya aku belajar dan inilah lukisan awalku yang sangat tidak professional.
Selamat menikmati.
Yang Tersembunyi
Adakah yang kau sembunyikan, yang aku tak tahu?
Adakah hal yang engkau sungguh takut jika aku tahu?
Ah, kau penuh rahasia.
Haruskah aku tak perlu tahu, tak pernah tahu?
Mengapa kau ingin aku tak perlu tahu dan tak pernah tahu?
Sudikah kiranya kau berbagi, sebab jika engkau bersembunyi
luka-luka tak akan sembuh
Beritahu aku apa rahasiamu
Janganlah takut!
Aku bersamamu, membelamu.
Aku untukmu, kebenaranmu.
Kemarilah.
Depok, Agustus 2015
Gedhek Classroom
Queen of the Crop
Pada pepohonan yang hilang kita menitikkan air mata. Kita hormat pada kejumawaan yang yang porak-poranda karena kita butuh makan. Kita menanam jagung dan semua-semua tanaman kecil-kecil untuk kita makan. Kita selalu ingin makan. Tak pernah mau berhenti makan. Makan. Makan. Makan. Sampai benar-benar lupa membutuhkan makanan. Pula alpa pada raksasa-raksasa hijau yang kita tumbangkan demi makanan. Dan sisa-sisa yang kita sesali atau kita pandangi dengan sudut mata basah saat senja adalah ketika panen tiba. Saat tak ada lagi batas antara kita dan langit yang panas. Saat itu juga air mata kita habis.
Sunshine in America
Suatu kali aku bertemu seseorang berwajah Asia yang menanti bus di tempat yang berjarak hanya 2 menit menuju kampus. Sesekali aku juga melihatnya sedang duduk santai di taman belakang kelasku. Aku tidak mengenalnya karena kami berbeda kelas. Aku mudah saja mengingatnya karena hampir setiap hari ia menggunakan jaket yang sama, berwarna hijau army. Suatu kali, saat aku pulang dari sebuah kelas, aku melihatnya di ruang tamu bersama teman Jepangku. Hari itu pertama kalinya kami bertegur sapa. Oh, ternyata dia teman dari teman Jepangku dan sekelas dengan salah satu teman Vietnamku. Dia orang Tibet, yang kusangka orang Jepang hehehe. Saat aku telah kembali ke Indonesia, suatu kali aku melihat sebuah photo yang ia posting di akun Facebooknya. Mentari pagi di suatu tempat di Amerika. Aku mencoba melukisnya dan ya hasilnya dengan warna berbeda. Aku suka photonya, dimana cahaya matahari ditangkap sebagai setengah kelopak sebuah bunga berwarna mereha muda.
Langganan:
Postingan (Atom)
Copyright © 2015 THE LOGIKA ART GALLERY
Blogger Templates | Template Created By
Follow Us
Were this world an endless plain, and by sailing eastward we could for ever reach new distances